SEMINAR MENUJU KONFERENSI TENURIAL “REFORMA AGRARIA DI LUAR KAWASAN HUTAN: PELUANG DAN TANTANGAN”
SEMINAR MENUJU KONFERENSI TENURIAL “REFORMA AGRARIA DI LUAR KAWASAN HUTAN: PELUANG DAN TANTANGAN”
BOGOR, PSA IPB – Pusat Studi Agraria (PSA) IPB telah melaksanakan kegiatan Seminar Menuju Konferensi Tenurial dengan tema “Reforma Agraria di Luar Kawasan Hutan: Peluang dan Tantangan” Kegiatan yang diselenggarakan pada tanggal 23-24 Oktober 2017 di IPB Internatioanl Convention Center ini, merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengantar menuju Tenure Conference 2017. Peserta yang hadir berasal dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, peminat studi agraria, sampai lembaga pemerintahan yang terkait. Tujuan seminar ini adalah untuk menggali ragam pemikiran mengenai persoalan agraria, tetutama diluar kawasan hutan, agar dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk Tenure Conferenc 2017 pada 25 – 26 Oktober 2017 esok.
Memulai acara ini, sambutan disampaikan oleh Martua Sirait dari Samdhana Instititute, Rina Mardiana selaku Ketua PSA IPB, serta Hermanto Siregar sebagai perwakilan dari Rektor IPB yang juga membuka acara tersebut. Ketiga pemberi sambutan menekankan mengenai pentingnya reforma agraria, Seminar yang diadakan selama 2 hari ini terdiri dari dua keynote speech dan empat sesi seminar dengan topik berbeda. Tema yang diangkat diantaranya Membedah Dua Komponen Reforma Agraria: Asset Reform dan Access Reform, Membedah Arena Sosial Pelaksanaan Reforma Agraria: Desa dan Wilayah Adat, dan Membedah Pelaksanaan Reforma Agraria dalam Beragam Konteks Ekosistem (dibagi menjadi dua sesi).
Keynote speech dari perwakikan Dirjen Land Reform Kementrian ATR/BPN, mengawali topik-topik yang akan dibahas dengan pemaparan seputar perkembangan reforma agraria yang dilakukan pemerintah sampai saat ini. Reforma agraria bukan masalah baru. Namun, upaya pemerintah melakukan RA cukup sukti dilapangan. Contohnya, kasus transmigrasi yang sudah dipindahkan ke lokasi yang ditetapkan, tapi tanah yang diberikan masih belum jelas kepemilikannya. Selain itu, yang perlu ditekankan juga adalah sulitnya pihak BPN berintegrasi dengan sector-pihak lain, baik ditingkat nasional maupun tingkat lokal. Paling penting yang diperlukan tentunya juga ketersediaan data yang valid dan lengkap terkait potensi TORA.
Masuk ke sesi pertama seminar, pemakalah dan pembahas mulai memaparkan hal yang menjadi perhatian utama dari reforma agraria, yaitu asset dan access reform. Pemakalah memaparkan dari berbagai sisi dan konteks mengenai permasalah tersebut. Amir Mahmud menjelaskan mengenai pelaksanaan PPAN yang masih belum memiliki keterpaduan antara subyek dan obyek sesuai dengan konsep RA dan masih banyak kendala secara politik karena kurangnya dukungan. Pemakalah lain, Martua Sihaloho pun memaparkan mengenai kemiskinan yang turun temurunn akibat model penerapan RA melalui transmigrasi di Sumatera Selatan akibat lahan yang tetap namun jumlah penduduk di wilayah transmigrasi terus meningkat. Selain itu, Satyawan Sunito memaparkan bahasannya dengan mengkritisi sistem perkebunan besar yang tidak berbeda dengan kolonialisme dan mempersulit smallholder, bahkan da0at menyeret smallholder ke dalam sistem neo-kapitalisme.
Setelah dipuaskan dengan bahasan mengenai asset dan acces daoam reforma agraria, sesi kedua membawa wacana baru dengan mengangkat arena sosial dari reforma agraria. Shohibuddin membuka sesi dengan memaparkan urgens reforma agraria dalam UU Desa ternyata masih belum tercakup di dalamnya, yaitu mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Rina Mardiana kemudian memaparkan hal lain dengan membawa isu wilayah adat dan pendefinisian teritorial yang saling tumpang tindih antara negara dan masyarakat adat. Kedua bahasan ini seakan mewakili permasalahan klaim, pemanfaatan, dan pengelolaan terkait batasan-batasan wilayah maupun kebijakan.
Topik yang menarik selanjutnya adalah dengan melihat reforma agraria di beragam ekosistem, yaitu pertambangan, perairan, perkotaan, lahan gambut dan perkebunan. Topik ini dibagi menjadi dua sesi. Pertama, membicarakan wilayah pertambangan dan perairan. Bayu Eka Yulian menjelaskan bahwa area reklamasi pertambangan merupakan peluang baik untuk dijadikan obyek reforma, meskipun tantangannya dalam mekanisme dan sistem pembagian lahan. Kawasan perairan dipaparkan oleh Eko Cahyono berdasarkan hasil riset SAINS yang menunjukkan bahwa zonasi dan pemanfaatan ruang laut masih menunjukkan ketimpangan penguasaan dan belum ada aturan yang jelas yang terkait dengan reforma agraria.
Sesi berukutnya dilakukan esok hari dan dibuka dengan keynote speech dari Hariyadi yang dengan gamblang mengkritisi tumpang tindih status penggunaan lahan dan menyarankan agar perpres agar lebih bisa terbuka dan menerima masukan. Pemaparan menarik lainnya disampaikan oleh Prof. Haryo yang membukan tabir bias pedesaan pada reforma agraria dengan pembahasan reforma agraria di perkotaan, karena nyatanya ketimpangan kepemilikan tanah pun terjadi di perkotaan dan akumulasi modal dikuasai oleh pengembang. Terakhir, Mirna Safitri membicarakan mengenai ekosistem lahan gambut yang terabaikan dan dimana reforma agraria dapat menjadi salah satu cara mengatasi krisis ekologi yang mungkin terjadi.
Diskusi menarik yang dipaparkan dalam seminar, kemudian kembali dibahas secara internal oleh para perumus dalam kegiatan ini. Secara garis besar, tampaknya reforma agraria saat ini belum menjadi konsensus dari kekuatan politik di Indonesia. Belum adanya sinergi antar instansi pemerintah yang dengan kata lain masih ada perbedaan interpretasi. Kegiatan seminar kali ini memang telah menggambarkan secara gamblang dan luas mengenai masalah agraria yang perlu diselesaikan melalui reforma agraria. Namun, bila kebutuhan mendesaknya yang diminta pemerintah adalah percepatan reforma agraria, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah segera bagikan lahan sekitar 4 juta hektar yang sudah siap dan segera bangun koordinasi untuk percepatannya. Reforma agraria saat ini perlu komitmen pemerintah dan dukungan politik, salah satunya dengan pidato politik presiden untuk menguatkan pentingnya segera melaksanakan reforma agraria. Disamping itu, perlu ada kejelasan mengenai rezim infrastruktur apa yang ingin dicapai, benar untuk kesejahteraan rakyat atau menguntungkan pihak tertentu? Karena, muara akhir dari komitmen dan dukungan politik pemerintah terhadap RA akan memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. (AYU)