“Diskusi Publik UGM Menyoal The Commons dan Ekonomi Biru di Indonesia: Menatap Lautan untuk Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan”

“Diskusi Publik UGM Menyoal The Commons dan Ekonomi Biru di Indonesia: Menatap Lautan untuk Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan”

379866545_7023880004288900_5549933663010390060_n
Activity / Liputan / News / Seminar

“Diskusi Publik UGM Menyoal The Commons dan Ekonomi Biru di Indonesia: Menatap Lautan untuk Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan”

[Yogyakarta] Social Research Centre (SOREC) UGM dan Transparency International Indonesia (TII) menggelar Diskusi Publik dengan tajuk The Commons dan Ekonomi Biru di Indonesia: Menatap Lautan untuk Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan. Kegiatan kolaboratif tersebut diadakan pada Kamis (14/09/2023) di hotel Bulaksumur Ballroom, University Club Hotel, UGM, Yogyakarta. Acara berlangsung dari 09.00-12.30 WIB secara luring dihadiri kurang lebih 100 orang terdiri dari kalangan akademisi, NGO/LSM, dinas pemerintahan dan masyarakat luas.

Pada awal diskusi publik dibuka dengan sambutan dari Ketua Departemen Sosiologi UGM Prof. Suharko, M.Si. menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap terselenggaranya diskusi publik kali ini. Ekonomi Biru merupakan paradigma dan praktik ekonomi yang perlu dipertimbangkan untuk masa depan. Salah satunya melalui diskusi publik ini diharapkan akan memberikan wawasan, mendorong kolaborasi, serta menciptakan komunitas epistemik dan mendorong praktik perubahan ke arah yang lebih baik.

Kemudian diskusi dipandu dan dimoderatori oleh Direktur TuK Indonesia Linda Rosalina menekankan diskusi kali ini akan fokus pada 3 hal penting. Pertama mengeksplorasi kondisi terkini Ekonomi Biru dalam konteks global dan nasional di Indonesia. Kedua, mendiskusikan peluang dan tantangan pengembangan Ekonomi Biru di Indonesia. Ketiga, mendiskusikan pelibatan masyarakat sipil dalam pengembangan Ekonomi biru di Indonesia. Kemudian sesi akan di tutup dengan tanya jawab interaktif antara narasumber dan peserta diskusi.

Sesi pertama dimulai penyampaian materi dari Natural Resource & Economic Governance Manager, Ferdian Yazid. Beliau memberikan gambaran fakta lengkap mengenai potensi sumber daya laut di ranah global dan negara Indonesia. Namun potensi tersebut rawan dikorupsi dan beresiko muncul konflik kepentingan dalam kebijakan sektor perikanan. Upaya anti-korupsi menjadi langkah signifikan dalam menyusun kebijakan agar dapat berjalan ke arah berkelanjutan.

Ekonomi Biru adalah konsep ekonomi yang bertujuan untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip alami dan lokalitas. Untuk mewujudkanya dibutuhkan laku kebijakan yang konsekuen yaitu melaksanakan Pasal 33 UUD 1945, yang memprioritaskan pemerataan dan kemakmuran bagi rakyat. Keberhasilan implementasi Ekonomi Biru yang adil dan berkelanjutan tergantung pada partisipasi organik dari nelayan kecil, masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, serta masyarakat adat dan nelayan perempuan. Demikian pendapat yang dikemukakan pada sesi kedua oleh Ari Wibowo, M.Sc. selaku Peneliti Pusat Studi Agraria IPB.

Sesi ketiga Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin bercerita beliau bersama WALHI tengah menyusun buku dengan judul “Ekonomi Biru (Blue Economy) versus Ekonomi Nusantara. Rencana buku tersebut akan diterbitkan pada akhir tahun 2023. Substansi buku berisi ulasan lengkap mengenai konsep, praktik dan kritik Ekonomi Biru di ranah global serta Indonesia. Diharapkan buku tersebut akan membuka ruang dialektis bagi semua pihak.

Terakhir, ditutup dengan catatan kritis oleh Ketua Research Center UGM Dr. Andreas Budi Widyanta. Upaya Pemerintah Indonesia mendorong program Ekonomi Biru (blue economy) layak disambut dan diapresiasi baik oleh publik. Namun publik layak skeptis dan curiga terhadap setiap produk kebijakan yang ditengarai sesat, bias dan menyembunyikan kepentingan tertentu. Lebih lanjut, publik perlu menguji, menantang, dan menagih konsistensi perencanaan dan implementasinya. Sejauh mana kelompok-kelompok masyarakat yang rentan di sektor kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia mendapatkan alokasi akses dan hak terhadap sumber daya kelautan. Persis di arena intended beneficiaries itulah, uji transparansi, keadilan, dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya milik bersama mendapati titik kritisnya.