PSA IPB Mendorong Studi Indeks Keagrariaan yang Komprehensif
Yogyakarta, PSA IPB – Dua peneliti Pusat Studi Agraria (PSA) IPB menjadi narasumber dalam seminar indeks gini ketimpangan penguasaan tanah yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta pada hari Jum’at, 24 November 2017. Kedua peneliti PSA tersebut adalah M. Shohibuddin dari divisi Dinamika Ekologi, Kependudukan dan Agraria (DEKA) dan Dina Nurdinawati dari unit Data Statistik dan Spasial Agraria (DSSA).
Selain dihadiri oleh civitas akademika STPN, seminar ini juga dihadiri Kepala Biro Perencanaan beserta staf serta jajaran Direktorat Land Reform, kesemuanya di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Selain itu, hadir juga beberapa staf Badan Pusat Statistik (BPS) dari beberapa kabupaten di lingkungan Provinsi DI Yogyakarta. Sayangnya, Dianto Bachriadi dari Agrarian Resource Centre (ARC) Bandung yang juga diundang sebagai pembicara berhalangan hadir karena gangguan perjalanan.
Dalam arahannya saat membuka acara seminar, Bapak Gabriel, Kepala Biro Perencanaan Kementerian ATR/BPN, menekankan arti penting indeks gini ketimpangan penguasaan tanah. Kementerian ATR/BPN sangat membutuhkan indeks gini semacam ini untuk menilai seberapa besar dampak dari program redistribusi tanah yang dijalankan pemerintah di dalam mengurangi struktur ketimpangan. Oleh karena itu, Pak Gabriel berharap agar dalam waktu dekat dapat dilakukan kerja sama riset untuk mengetahui kondisi riil ketimpangan penguasaan tanah saat ini (status T0). Dengan pengetahuan itu, maka program redistribusi tanah yang sedang dijalankan pemerintah bisa lebih tepat sasaran dan dampaknya pun bisa lebih terukur. Meskipun demikian, beliau juga mengingatkan agar penelitian semacam itu jangan memakan waktu yang terlalu lama karena para birokrat pelaksana kebijakan sudah sangat menunggu hasil-hasilnya untuk segera diimplementasikan.
Sementara itu, kedua peneliti PSA dalam presentasinya mengajak audiens untuk pertama-tama melihat masalah agraria secara lebih utuh dan dengan konseptualisasi yang lebih jernih. Dengan begitu, maka baik upaya mengukur masalah agraria dalam bentuk indeks maupun menentukan kebijakan penanganannya bisa dilakukan secara lebih cermat dan tepat. Untuk itu, sebagai langkah awal, kedua peneliti PSA ini menekankan pentingnya menjernihkan terlebih dahulu empat masalah agraria sebagai berikut: (1) ketidakpastian (insecurity) dalam penguasaan dan pemilikan tanah, (2) ketimpangan (inequality) dalam penguasaan dan pemilikan tanah, (3) ketidakpastian dan ketimpangan dalam relasi kemitraan dan bagi hasil produksi, dan (4) ketidakpastian dan ketimpangan dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah dan ruang.
Menurut M. Shohibuddin, pengertian keempat masalah agraria itu kerap dicampuradukkan secara konseptual, khususnya dua masalah yang disebut pertama. Padahal, kejernihan konseptual sangatlah diperlukan agar dapat dibuat pengukuran masalah yang lebih akurat, dan dari situ dapat dirumuskan program penanganan masing-masing masalah secara lebih tepat. Dalam kaitan ini, M. Shohibuddin lebih lanjut mengusulkan pentingnya menyusun seperangkat indeks keagrariaan yang komprehensif dan dapat menggambarkan secara kuantitatif keempat masalah agraria itu. Sesuai dengan urutan empat masalah agraria tersebut, indeks keagrarian yang komprehensif itu berturut-turut mencakup: (1) indeks ancaman eksklusi, (2) indeks ketimpangan penguasaan, (3) indeks ketimpangan bagi hasil, dan (4) indeks krisis produktivitas dan sustainabilitas.
Menanggapi tawaran kerja sama riset yang disampaikan Kepala Biro Perencanaan, pihak PSA menyatakan kesiapannya dan bahkan menyebutnya sebagai tawaran yang tepat waktu. Sebab, PSA saat ini juga sedang mempersiapkan studi mengenai beberapa komponen dari indeks keagrariaan ini dengan menggandeng beberapa pihak. Salah satunya adalah dengan pihak Badan Pusat Statistik.
Selain itu, sebagaimana dijelaskan oleh Dina Nurdinawati, IPB sudah memiliki sistem informasi SOLAP (Spatial Online Analytical Processing) untuk data komoditas pertanian. Saat ini PSA sedang berupaya menggunakan sistem ini untuk data statistik dan spasial agraria. Menurut Dina Nurdinawati, sistem informasi ini juga sangat relevan untuk pelaksanaan kerja sama riset yang sedang digagas ini.
Saat memberikan tanggapan penutup di akhir seminar, Pak Gabriel menyampaikan apresiasinya pada kerangka riset indeks keagrariaan yang dipresentasikan kedua peneliti PSA. Beliau juga menyatakan keyakinannya bahwa indeks keagrariaan yang komprehensif semacam itu sangat mungkin untuk dikembangkan dan memang sejalan dengan tupoksi yang menjadi mandat Kementerian ATR/BPN. Namun sebagai langkah awal, beliau meminta agar kerja sama riset difokuskan terlebih dulu pada penyusunan indeks ketimpangan penguasaan tanah. Bahkan beliau meminta waktu pelaksanaannya bisa dipercepat karena para praktisi birokrat sudah menunggu lama riset semacam ini. Terakhir, beliau juga menyampaikan agar pelaksanaan studi indeks ketimpangan ini bisa disinergikan dengan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) yang pelaksanaannya sedang digenjot oleh pemerintah saat ini.
Semoga “gayung bersambut” dalam diskusi di seminar ini bisa segera diwujudkan secara konkret dalam waktu yang tidak lama lagi. (MSB)