Pidato 70th Prof. Dr. Endriatmo Soetarto: “Eksistensi Masyarakat Adat dalam Kancah Nasionalisme Indonesia”
Pidato 70th Prof. Dr. Endriatmo Soetarto: “Eksistensi Masyarakat Adat dalam Kancah Nasionalisme Indonesia”
Disampaikan langsung oleh: Prof. Dr. Endriatmo Soetarto
- Menarik pengungkapan Dhakidae (2002) bahwa ‘Bangsa’ dan ‘Negara’ seringkali disandingkan dengan begitu saja dalam percakapan biasa maupun percakapan resmi, seolah tak pernah ada soal di antara keduanya. Padahal bila kita masuk lebih dalam ke wacana tersebut maka segera akan kita jumpai bahwa ‘bangsa’ dan ‘kebangsaan’ baik dari dalam dirinya sendiri maupun yang terkait hubungannya dengan negara sungguh ada hubungan keruwetan yang begitu kompleks.[1]
- Di negeri ini manakala kita bicara kebangsaan atau nasionalisme maka seperti dengan sendirinya ia mengait persoalannya dengan negara (Indonesia). Mengacu lebih dulu asal muasal nama Indonesia, yang nota bene adalah nama berian, segera akan kita ketahui bahwa nama tersebut cepat sekali bisa mengalahkan popularitas nama Nusantara yang lebih dulu ada dan dikenal luas oleh penduduk seantero Asia Tenggara bahkan[2]. Bisa diduga ini terjadi karena nama Indonesia digaungkan begitu kuat oleh kaum pergerakan kemerdekaan utamanya sejak awal 1900-an, dan terus digemakan secara masif dalam pidato-pidato politik oleh para tokoh revolusi di panggung rapat-rapat raksasa terbuka, ditingkahi lagi oleh syair-syair lagu perjuangan oleh generasi pelanjutnya, dan banyak disebut-sebut lewat banyak media publik (cetak dan elektronik) lainnya berkat berbagai peristiwa penting. Dengan demikian wajar manakala nama Indonesia terdengar semakin akrab di telinga banyak orang di pelosok-pelosok tanah air dan bahkan di belahan dunia lainnya di kawasan manca negara. Kesemua itu, perlahan-lahan tapi pasti telah mentransformasikan nama Indonesia bak sebentuk nasionalisme, yang terbangun berkat ‘pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa’ (samen bundeling van alle krachten van de natie). – meminjam ungkapan Bung Karno (lihat Madjid, 2004, lihat juga BP Prapanca, Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi,1965)
- Mengikuti proses pertumbuhan dan perkembangannya sampailah di suatu momen Indonesia mengejawantah bagai suatu realita nyata negara bangsa (nation state) yang bentang liputan geografisnya, mengikuti akhir kesepakatan para tokoh bangsa kala itu, membujur dari ‘Sabang hingga Merauke dan melintang dari Miangas hingga Rote’. Bentang geografis ini bertumpang tindih tepat dengan bentang geografis Hindia Belanda atau Hindia Timur Belanda (Dutch East Indies). Namun Indonesia sendiri sebagai bangsa bukanlah ciptaan Belanda atau pemerintah penjajah, melainkan hadir sekali lagi oleh semangat perlawanan terhadap penjajahan. Bangsa ini dalam perjalanannya dari waktu ke waktu lalu dikuatkan dengan ciri-ciri budaya yang dapat kita kenali sebagai khas Indonesia, dengan bahasa nasional yang juga khas Indonesia. Tak ayal lagi hal tersebut kemudian dipercaya sebagai modal kuat untuk pengembangan bangsa dan negeri menuju masyarakat Adil dan Makmur, yang secara ajeg juga dikobar-kobarkan dalam pidato-pidato politik di panggung terbuka maupun tertutup, dan diperjuangkan secara heroik oleh para founding actors baik di dalam maupun luar negeri (lihat Madjid, 2004).[3]
- Namun di awal abad ke 21 pada hari-hari pertama milenium ketiga ada realitas lain yang datang menerpa dan mengguncang bangsa ini dari semua kepastian dan keyakinan yang pernah dijanjikan dan sumpah yang diikrarkan pada tahun 1928. Meminjam ungkapan Dhakidae (2002) The holy trinity, tri tunggal suci bahasa, bangsa, dan tanah air kini berubah menjadi – the unholy trinity yang satu sama lainnya seperti mau saling mendepak kehadirannya. Satu bahasa sepertinya tidak dengan sendirinya membulatkan Indonesia dalam bingkai satu bangsa. Riau, tempat asal bahasa Melayu yang menjadi salah satu induk bahasa Indonesia, pernah bergolak untuk memisahkan diri menjadi negara ‘Riau Merdeka’. Aceh yang pernah menjadi pendonor pesawat terbang di masa-masa sulit awal kemerdekaan kepada pemerintah Indonesia di Jakarta pernah bergejolak keras hendak menarik diri dari NKRI. Bersyukur ada berkah yang menyusul dengan datangnya bencana gempa bumi yang menyertakan sekaligus tsunami besar yang kemudian mendorong mewujudnya Kesepakatan Helsinki (2005) antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan banyak lagi pergolakan kedaerahan lainnya yang pada intinya menggugat eksistensi Kuasa Pemerintahan Pusat Jakarta bahkan tak lama setelah kemerdekaan diproklamirkan di tahun 1945.
- Menyertai itu semua, sekali lagi sampai dengan dewasa ini sesungguhnya belum banyak diskursus yang menggema kuat menyusul respons kaum intelektual dan akademik di Indonesia atas ‘Imagined Communities’ karya Benedict R,O’G Anderson (1983) — terjemahannya dalam bahasa Indonesia baru hadir awal tahun 2000-an. Keterlambatan terjemahan ini menurut Dhakidae (20022) bukan semata-mata kebetulan oleh alasan segi waktu belaka, namun lebih dari itu sebagai gagapnya para scholar Indonesia menilai substansi buku tersebut. Dengan kata lain, penerimaaan dunia akademis yang begitu luas dan dalam di aras global atas karya Anderson ini ternyata di sini {Indonesia) tidak cukup bergema. Tidak berlebihan kiranya jika Ini dibaca sebagai gejala yang seperti hendak mengembalikan kita ke zaman Orde Baru dengan seluruh kemerosotan intelektualnya.
- Kemerosotan intelektual ini berbanding terbalik dengan laju kekokohan pengendalian politik rezim Soeharto dan mendalamnya pengerasan neo fasisme militer kala itu yang mengawasi banyak hal; termasuk menyangkut berkenan atau tidaknya Kuasa Politik Pusat kala itu atas narasi pikiran para anak bangsa yang terbangun dan lalu Lalang di ruang-ruang publik. Ijin dan Restu pemegang Pucuk Kekuasaan di Pusat menjadi ‘alat sensor’ pengatur dan penentu lalu lintas info, berita, opini, pikiran, atraksi, atau lainnya – mana saja yang boleh atau mana saja yang terlarang untuk tampil mengisi diskursus di ruang-ruang publik (lihat pula, Crouch, 2007, Sen and Hill, 2007). Memang betul, awalnya orde baru dengan rezim Soeharto selaku pucuk pengendali kekuasan semula menjanjikan Indonesia sebagai proyek modernis – pluralis. Namun tak lama setelah berdiri proyek tersebut ia segera terpinggirkan oleh proyek modernisasi saingan yang dilahirkan dalam bagian-bagian inti birokrasi Orde Baru sendiri. Proyek modernisasi ‘resmi’ itu paling gamblang diuraikan watak dasarnya oleh Jenderal Ali Moertopo, salah satu ideolog Orde Baru terpenting. Di situ diungkap mengejar pertumbuhan ekonomi yang pesat sangat dikaitkan dengan keharusan berhasilnya rekayasa sosial dan kendali politik yang ketat, bahkan represif. Dalam visi resmi itu tidak ada tempat buat cita-cita liberalisasi – pluralisme politik. Bahkan masyarakat hampir sepenuhnya disubordinasikan terhadap tuntutan-tuntutan negara lewat sebuah arsitektur kekuasaan yang makin menutup ruang gerak politik (Hadiz, 2021)
- Pencapaian ‘sukses’ ekonomi rezim Soeharto bisa dicatat ibarat bangunan atau konstruksi ‘nasionalisme babak kedua’ yang dipandang atau bahkan dirasakan lebih sarat makna dibanding ‘nasionalisme babak satu’ versi Soekarno-Hatta. Hal inilah yang boleh dikata menjadi sisi lain dari alasan risaunya para akademisi dan intelektual Indonesia atas karya Anderson tadi. Bahkan di era reformasi pun dewasa ini, masih tersisa kegalauan pada kalangan politisi, wartawan, akademisi, dan dari kalangan umum lainnya atas substansi karya buku ini karena seperti menguncang keyakinan mapan yang tak tergoyangkan. Suatu keyakinan yang tak pernah terusik bahwa nasionalisme adalah sebentuk ‘mantera’ yang bukan hanya seolah bertitah, tetapi niscaya (akan) mempertautkan tali kebangsaan dengan seerat-eratnya pada seluruh emosi warga bangsa. Sejajar dengan itu sungguh mengenaskan kala menyadari bahwa nasionalisme serupa itu dalam realitasnya ternyata bisa abai atas segala sesuatu termasuk yang mencederai dan membuat derita atau kesengsaran massa rakyat di akar rumput (grass root).
- Mengatakan lebih jujur bahwa bicara nasionalisme sesungguhnya berurusan langsung dengan kosmologi ‘atas – bawah’ nyatanya sangat merisaukan pikiran dan emosi mereka. Karya ini menggugat secara fundamental keyakinan-keyakinan lama yang terpatri ihwal ‘kesucian’ nasionalisme yang absolut, dan bukan sebagai sesuatu yang terbayang, imagined …… bukan imajiner itu sendiri.[4] Mengulangi ucapan Dhakidae (2002) semua hal di atas sudah cukup membuka kotak pandora yang menyebarkan kebingungan kaum nasionalis tua, dan para calon ‘nasionalis baru. Padahal bagi kaum ‘kecil-bawah; mereka sejatinya belum banyak terusik oleh paham nasionalisme itu sendiri, dan bahkan membayangkan sesuatu sedikit saja di luar dirinya, di luar keluarganya, di luar perkampungannya pun – masih dirasakan sebagai suatu kemewahan besar. Dalam hal ini penting untuk segera kita sadari, bahwa betapa pun luas jangkauan radio, televisi, dan kini dengan jaringan internet sekalipun seringkali tidak cukup menolong situasi dilihat dari sudut ini, atau bahkan justru memberikan suatu soal lain lagi dalam hubungan dengan pembayangan tadi.
- Nasionalisme itu sendiri ibarat ‘agama baru’ bagi kaum cendekiawan Indonesia semenjak awal sampai pertengahan abad ke-20, seperti layaknya komunisme menjadi agama baru di Eropa abad ke-19. Dengan tidak bermaksud membawa tulisan ini pada perdebatan akademis atas konsep-konsep ilmiah yang menyertai substansi buku tersebut, poin yang ingin saya garis bawahi adalah nation, nation-ness, dan nationality menurut buku tersebut adalah sebuah artefak jenis khusus (cultural artefacts of a particular kind). Dengan demikian mengikuti buku ini lebih lanjut nation adalah Imagined political community bukan political community itu sendiri. Hal ini semakin ditekankan lagi ketika ia disebut sebagai ‘imagined as sovereign’, ‘imagined as limited’, dan ‘imagined as community’. Jadi ia tidak lain adalah anthropological in nature. Semuanya baru menjadi politikal ketika dalam konsep antropologis itu dihembuskan konsep lain yakni ‘seluruh bayangan tentang kebersamaan mereka; sehingga pada saat yang sama komunitas antropologis itu berubah menjadi suatu yang terbayang. Berada dalam bayang-bayang citra sebagai komunitas politik dan ingin menyatukan semua yang berada dalam batas-batas kesamaan itu (Anderson, 2002, Dhakidae, 2002 lihat juga Scott, 2019).
- Dalam arti ini bangsa adalah suatu proyeksi baik dalam dimensi ruang dan waktu. Ia menjadi semacam mode of existence. Dalam konteks ini, mengikuti lebih jauh Dhakidae (2002) ungkapan ‘bangsa lahir’ adalah salah, yang benar adalah ungkapan ‘bangsa itu hadir’ dalam proses formasi sebagai ‘historical being’. Historical di sini bukanlah soal masa lalu akan tetapi mencakup masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memproyeksikan dirinya ke masa lalu. Di sini warisan menjadi penting, akan tetapi warisan yang secara efektif menentukan relevansi masa kini. Malapetaka baru terjadi manakala suatu bangsa memahami masa lalunya berdasarkan masa kini. Hanya dengan tidak menjajah masalalu dan menghadirkan masadepan dalam kekinian suatu bangsa menjadi ‘historical being’.
- Sejajar dengan itu kita sering juga mengatakan sebagai bangsa yang relatif baru maka bangsa ini masih terus dalam proses penjadian diri (nation in making). Ini artinya Indonesia masih memerlukan pengembangan pikiran-pikiran mendasar tentang kebangsaan dan kenegaraan melanjutkan tradisi tukar pikiran para tokoh pendirinya. Dalam ungkapan Nurcholis Majid (2004) masalah kebangsaan dan kenegaraan tidak dibenarkan untuk dipandang sebagai benda mati yang statis, yang mandek, tidak lagi mengalami perubahan dan pertumbuhan. Namun yang jelas pikiran yang kecil tidak akan menghasilkan tindakan yang besar dan sistem yang salah tidak mungkin melahirkan tatanan kehidupan yang membawa kebaikan bagi masyarakat secara keseluruhan.
- Saya sepakat ‘komunitas-komunitas terbayang’ karya Anderson ini singkat kata telah membongkar banyak kesadaran palsu (false conciouness) tentang bangsa dan kebangsaan. Di ujung yang lain, kebangsaan apalagi yang dipupuk atau diasuh oleh ‘kekerasan’ (ekonomi-politik), berpotensi memunculkan lebih kuat ‘komunitas-komunitas terbayang’ itu sendiri dalam dimensinya yang lain. Komunitas-komunitas terbayang ini serta merta bisa mengunci kuat-kuat tali ikatan komunitas berbasis sentimen-sentimen primordialisme terutama yang berbasiskan agama, suku, adat, atau lainnya serta menempatkannya di atas kepentingan nasional. Menirukan pernyataan Dhakidae (2002) pada tataran empiris yang paling otentik komunitas-komunitas terbayang sejatinya lebih merupakan semacam nasionalisme dengan huruf kecil ‘n’ yang ibaratnya berbagi ruang dengan ‘kekerabatan’ dan ‘agama/kepercayaan’, dan bukan dengan huruf besar ‘N’ yang berbagi ruang dengan ‘liberalisme; atau ‘fasisme’.
- Sementara di tataran makro menarik juga ungkapan yang pernah disampaikan Bung Karno, nasionalisme Indonesia bukanlah timbul dari kesombongan – ia adalah nasionalisme yang datang dari pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat’, bukan ‘jingo nationalism’ atau chauvinisme, dan bukan copy atau tiruan nasionalisme Barat. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang menerima ‘rasa hidupnya sebagai suatu wahyu; dan menjalankan ‘rasa hidupnya sebagai suatu bakti. Kesuksesan Indonesia sebagai bangsa jelas suatu hal yang tidak dapat dipandang biasa, banyak pengorbanan di situ terutama kala melawan kolonialisme asing yang datang menjajah bumi Nusantara dengan segala kepongahan dan derita yang ditebarkan di atas jiwa raga bangsa Nusantara. Di sini Bung Karno pejuang nasionalisme Indonesia barisan terdepan melukiskan dimensi dan sisi lembut nasionalisme Indonesia, sejauh ia tidak diprovokasi oleh hadirnya kekerasan ekonomi-politik. Suatu nasionalisme yang diabdikan penuh bagi kemaslahatan bangsa Indonesia dan umat manusia secara keseluruhan.
- Bersyukur pula ada sisi’ keberuntungan’ historis lewat proses sejarah yang memihak pada realitas keanekaan budaya suku-suku bangsa kita lebih sebagai suatu kekayaan, yaitu asset kultural yang begitu berharga, selain tentu juga menyadari atas sisi kerawanannya yang (bisa) diidapnya. Dalam hal ini adalah bagaimana kerajaan – kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Aceh misalnya telah menjadi penyumbang penting, dengan segala dinamika yang menyertainya, yaitu sebagai entitas-entitas ekonomi-politik penyubur silang budaya (cross cultural fertilization) … lewat interaksi perdagangan regional yang ditunjang dengan kekuasaan politik kala itu. Hal ini kemudian dapat dikenali pada adanya unsur-unsur kosmopolit dan universal dalam banyak segi budaya umum Kawasan Asia Tenggara. Dengan kata lain bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbiasa dengan kehidupan dengan latar sosio-kultural yang plural. Bhineka Tunggal Ika begitulah slogan yang senantiasa digemakan dan diusung oleh bangsa ini.. Politik identitas dan modernitas sejatinya terbiasa hidup damai berdampingan dalam masyarakat di Indonesia melalui proses-proses dialog kritis di ruang sosial semi otonom (Soetarto, 2001).
- Namun dengan menyadari ada tapak sejarah tragis yang pernah kita lalui, yaitu ketika sebagian orang pemegang kekuasaan mengolah kebangsaan menjadi kebangsaan-negara (state nationalism) dalam dimensi yang sama sekali berbeda. ‘Berbeda’ yang dimaksudkan adalah, karena dalam state nationalism itu bercampur pula dengan ilusi-ilusi dan obsesi atas ‘modal dan kekuasaan’ pada pola pikir dan sepak terjang para pemegang kekuasaannya (power holders) di aras lokal maupun pusat. Pada gilirannya ia menimbulkan ekses-ekses yang sangat serius, bila merujuk pada peristiwa-peristiwa tragedi yang pernah pecah di Timor Timur, Aceh, dan kini Papua, dalam hal ini.
- Inilah dua hal terakhir, sebagaimana telah diuraikan di atas yang menurut hemat kami mesti dipedomani utamanya oleh para pemimpin, politisi, dan penguasa. Pertama, bagaimana ‘komunitas-komunitas terbayang’ sejatinya perlu dipandang dan diposisikan tak lain sebagai sebentuk ‘anthropological in nature’ yang bersifat kultural belaka. Tak salah bila dalam konteks agraria/pertanahan tokoh-tokoh para perumus Undang-undang Pokok Agraria (UUPA 1960) menyebut ‘Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa yang datang dari masyarakat hukum adat yang tidak tertulis itu semua sejatinya mengandung unsur-unsur asli nasional itu sendiri’. Kedua, nasionalisme Indonesia sebagaimana ungkapan Bung Karno adalah menerima ‘rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan ‘rasa hidupnya sebagai suatu bakti’. State Nasionalism dalam hal ini sekali lagi tak boleh (lagi) dikotori oleh ilusi dan obsesi keserakahan atas ‘modal dan kekuasaan’ karena ujungnya (bisa) menghasilkan distorsi, komplikasi, dan pada gilirannya ekses-ekses kemanusiaan yang memilukan. Nasionalisme Indonesia tetap harus ditempatkan dalam suatu ruang yang memposisikan kompromi kepentingan dari berbagai elemen bangsa untuk senantiasa dibuka, dicari dan pada gilirannya menjadi jalan ke luar (way-out) atas aneka masalah yang menghadangnya, Dalam hal ini mendesakkan keinginan atau kepentingan diri sendiri yang bersifat sepihak harus bisa dicegah demi kebutuhan dan keutuhan masyarakat yang lebih besar. Konsepsi-konsepsi modern yang menaruh soal keadilan, demokrasi, dan toleransi harus diakomodasikan dalam pusaran utama diskursus tentang nasionalisme Indonesia.
Memposisikan Geliat Eksistensi Masyarakat Adat dalam Kancah Nasionalisme Indonesia
- Ada pertanyaan: apa yang bisa dibaca dengan geliat kebangkitan Mayarakat Hukum Adat (MHA) dewasa ini yang semakin membesar dan secara konstitusional telah diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi no 35 tahun 2012. Apakah ini akan menyeret Indonesia kembali mundur (set back) ke masa kerajaan feodal pra kolonia,l atau apa yang sesungguhnya sedang terjadi atau bermasalah dengan proyek Indonesia sebagai modern nation-state?, atau serentetan pertanyaan lain yang menggugat kegagalan Indonesia sebagai negara (state failed) ? atau apa lagi kiranya yang bisa diduga. Ini tentu pertanyaan-pertanyaan besar dan kompleks yang tidak mudah dicari jawabnya.
- Tulisan ini akan lebih menyoroti motif-motif apa yang bisa melatari geliat masyarakat adat menuntut pengakuan eksistensinya dari perspektif antropologis dan sosiologi (agraria). Hal pertama, secara antropologis sebagaimana juga telah disinggung di atas, bahwa komunitas atau masyarakat (adat} dalam hal ini adalah entitas sosio-kultural yang jauh lebih tua daripada entitas negara Indonesia itu sendiri. dan memiliki hukum adatnya sendiri Adalah (sebagian) tepat jika UUD 1945 dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang’. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga menyatakan hukum agraria nasional berlandaskan hukum adat. Namun perlu kita catat bahwa hukum adat versi UUPA adalah hukum adat yang dikonstruksikan oleh hukum negara. Dengan kata lain dalam derajat tertentu UUPA masih mengusung bagaimana konsep pluralisme hukum yang lemah masih terjadi.
- Mengulangi uraian Safitri (2012), Pada Pasal 5 UUPA, Hukum adat yang dimaksud adalah hukum adat yang diakui negara setelah memenuhi empat kriteria, yaitu a. yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, b. yang berdasarkan atas persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, c. yang tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundangan-undangan lainnya. d. yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Dengan hukum adat seperti itu, akan sangat mungkin terdapat kesenjangan yang lebar antara hukum adat versi UUPA dengan hukum adat yang senyatanya. Belum lagi besar kemungkinan terjadinya distorsi tafsiran dari para pengadil atau pemegang kuasa negara dalam menentukan konstruksi hukum adat yang sah dalam pandangan negara. Dengan kata lain dalam relasi antara hukum negara dan hukum rakyat, sangat dimungkinkan terjadi upaya mengkonstruksi atau mendekonstruksi hukum rakyat (dalam hal UUPA adalah hukum adat) sesuai kepentingan negara. Implikasinya ini membawa problematik tersendiri yang mendalam, yaitu sebagian masyarakat adat merasa perlu untuk kembali mengusung atribut identitasnya lengkap dengan tuntutan memperoleh kembali ruang hidupnya yang hilang atau dihilangkan oleh negara dan atau korporasi. Masyarakat Adat seperti ini, yang kondisi umumnya cenderung miskin, dan tak terlindungi dan tak terpenuhi hak-hak dasarnya sehingga pada gilirannya mereka merasa tidak nyaman dan aman dalam asuhan NKRI. Jadi ada sisi protes, ketidak puasan, dan dorongan perlawanan dalam gradasi yang berbeda-beda mengikuti drama penderitaan hidupnya.
- Sikap untuk memilih kembali pulang ke dalam ‘rumah atau kampung halaman adat’ yang terkadang disertai sikap heroisme yang non koperatif dari para tokohnya memang rentan bergeser menjadi atau memberi kekuatan besar kepada masyarakat adat menjadi political community. Gerakan untuk merevitalisasi atau merestorasi masyarakat adat ini mbisa dipandang sebagai garis kelanjutan historis, kultural, dan ekonomis dengan watak dasar masyarakat di kepulauan Nusantara di abad-abad pra Indonesia sendiri.
- Namun sekali lagi Ihwal semua di atas semestinya tidak terburu-buru divonis sebagai gerakan tandingan atau separatisme yang lalu dibenturkan dalam konteks nasionalisme negara. Namun kerawanan-kerawanan sosial yang timbul tidak bisa serta merta dijawab dengan usaha penguatan kohesi atau integrasi nasional dalam kekuasan politik tunggal apalagi dengan bantuan kekerasan atau represi fisik. Proses negara monolitik dan korporatisme negara terbukti telah gagal menjawab permasalahan tersebut. Padahal sejajar dengan itu bangsa ini pada dasarnya memiliki latar sejarah dan kualitas-kualitas kultural yang berwatak kosmopolit. Ini tergambar dari Bahasa Melayu (induk Bahasa Indonesia) yang menjadi bahasa dengan penutur yang terbiasa bermobilitas tinggi ke seantero Asia Tenggara dan sekaligus berwatak dinamis, bebas, terbuka, dan egaliter.
Otonomi Daerah, Otonomi Khusus, dan Komunitas Terbayang
- Sejatinya pluralisme hukum yang lemah tidak hanya kita jumpai dalam UUPA, Ketika diberlakukan otonomi daerah dan otonomi khusus di Papua dan Aceh dalam hal ini kecenderungan pluralisme hukum yang lemah juga terjadi. Hal ini tampak pada upaya mengintegrasikan hukum adat dan hukum agama ke dalam hukum negara disertai dengan upaya merumuskan sejumlah kondisi bagi pengakuannya. Mengulangi uraian Safitri (2012) dengan mengambil Aceh sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana UU no18 tahun 2001 tentang pemerintahan Aceh telah menyediakan dasar bagi pemberlakuan syariah (hukum Islam). Namun hukum adat juga tetap hidup dalam masyarakat Aceh, dalam beberaa hal menyatu dengan syariah. Dengan otonomi khusus, pemerintah Aceh berpaya mengintegrasikan hukum adat ke dalam hukum negara. Qanun-qanundi Aceh adalah arena pengintegrasian tersebut. Dalam hal ini kebijakan pemerintah Aceh jelas menjadikan syariah dan hukum adat sebagai sumber pembentukan qanun. Qanun dinyatakan sebagai tidak boleh bertentangan dengan sariah dan hukum adat. Qanun bukanlah syariah dan bukan pula hukum adat. ecara konseptual kita perlu membedakannya, namun demikian kita bisa mengbaratkan qanun sebagai kuali yang memungkinkan adat dan syariah melebur
- Contoh lain adalah legislasi dan kebijakan pemerintah daerah untuk mengakui keberadaan lembaga-lembaga adat dengan menjadikannya sebagai lembaga kuasi negara. Di kabupaten Kutai Kertanegara dan beberapa daera lainnya lembaga-lembaga adat kuasi negara ini marak dibentuk sejalan pemberlakuan otonomi daerah 9 sejak tahun 2001. Pengakuan formal diberikan oleh bupatii kepada tokoh adat, dan alokasi anggaran daerah disediakan untuk lembaga adat ini. Akibatnya di banyak tempat terjadi pembentukan lembaga-lembaga adat. Pembentukan dan aktivitas lembaga adat didukung sebangun dengan lembaga-lembaga lain pada pemerintahan desa atau di atas supra desa…sehingga pada saat yang sama ini adalah sebentuk kooptasi negara terhadap lembaga adat. Lembaga adat pun kini ternyata tidak (selalu) identik dengan penduduk pribumi melainkan dapat ditemukan pula pada komunitas-komunitas pendatang.
- Ini semua membawa kita pada suatu refleksi khusus, bahwa hutan-hutan di negeri ini, pulau-pulau kecil, pesisir, dan pelosok-pelosok pedalaman lainnya yang adalah ruang-ruang hidup (livelihood space) dan kampung halaman bagi jutaan orang yang untuk sebagian besar terwadahi dalam komunitas-komunitas terbayang. Masyarakat Adat mewadahi tatanan hidupnya lewat tata kelola dan kendali atas tanah-tanah dan hutan-hutan mereka sesuai hukum adatnya yang walupun terhitung sangat tua berdasarkan asal-usulnya tetap memiliki peran penting dalam kehidupan mereka kala ini. Kelenturan hukum adat menjadi suatu wujud nyata dari kearifan warga adat merespon perubahan zaman.
- Namun demikian dalam realitas hanya tersedia sedikit jaminan yang sebenar-benarnya jaminan untuk hak mereka atas tanah, hutan, dan ruang-uang hidup lainnya yang makin – semakin lemah justru di kala hadirnya nasionalisme negara (state nationalism). Padahal sesungguhnya pendekatan keejahteraan (welfare approach) yang memposisikan masyarakat adat dalam hal ini, sebagai komunitas-komunitas terbayang yang bersifat kultural tentulah menadi urgensi tersendiri. Sebaliknya kekerasan yang diasuh dan dibalut oleh nsionalisme negara lewat kebijakan ekonomi-politik neo liberal justru sangat potensial mentransformasikan komunitas-komunitas terbayang ini beringsut dari semula bersifat sosio-kultural lalu menjadi political community yang bersandar pada nilai-nilai primordialisme. Nilai-nilai primordial ini pada akhinya (bisa) membingkai komunitas-komunitas terbayang dalam kesamaan kepentingan di banyak aspek kehidupan dalam konteks arena yang sangat politis. Tentu ini sangat tidak produktif, merugikan, dan cenderung membawa serta korbn banyak seperti kasus di Papua dalam hal ini, serta di berbagai pelosok daerah lainnya sehingga menimbulkan konflik-konflik (agraria) yang semakin intensif[5]
- Sebaliknya kita juga bisa mencatat bagaimana di tahun-tahun pertama kemerdekaan RI tak ada pihak yang ragu-ragu dengan tekad dan tujuan proklamasi 17 Agustus 1945 yang oleh Bung Karno dikatakan sebagai ‘jembatan emas’ bagi masyarakat menuju masa depan yang lebih bagus dan gemilang. Singkat kata Kasultanan Ngayogyakarta Hadinigrat yang semula adalah sebentuk kerajaan dari suatu masyarakat adat besar di lingkungan masyarakat Jawa, merasa tidak perlu waktu lama untuk segera menyatakan berintegrasi menyatu padu dengan negara baru RI dan menyatakan tunduk dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI (Soemardjan, 1981). Gambaran ini tentu tidak lepas dari bagaimana para tokoh pendiri bangsa bergaul begitu rupa sehingga menumbuhkan rasa persaudaraan, rasa saling menghormati, rasa saling percaya atas kejujuran, atas integritas dan semua nilai luhur yang tersemai satu sama lain. Semua ini lalu mendorong sikap Sri Sultan HB IX untuk tak ragu-ragu lagi bahkan semenjak awal untuk menyatakan kerajaannya sebagai bagian dari pemerintahan Indonesia dengan berstatus daerah istimewa. Bahkan lebih itu Yogyakarta pun pernah bersedia secara sukarela menjadi ibu kota sementara Republik Indonesia dan sekaligus menjadi penyokong kebutuhan pendanaannya yang menelan jutaan gulden kala itu.
- Di sinilah kita kemudian sampai pada pembelajaran bahwa mengasuh bangsa dan negara essensinya terletak pada pendekatan kesejahteraan, dilengkapi pendekatan kultural yang memihak (afirmatif). Masyarakat Adat tidak boleh lagi tersemat bagai keterlantaran, bila kacamata kemakmuran dipakai. Terlantar karena semata-mata menjadi obyek eksploitasi atau pembiaran ekonomi-politik. Memang, tema tarik ulur antara pusat dan daerah pinggiran selalu terjadi dan bukan hal baru. Tapi di sini bukanlah semata-mata karena ada ketidakpuasan daerah atas sentralisme politik atau sumberdaya. Namun lebih dari itu, menurut Scott (2019) seluruh aspek kehidupan sosial di desa-desa berbasis sistem perladangan berpindah, agama mileniarisnya, bahkan tradisi lisannya sampai-sampai terkucil sedemikian rupa agar mereka tak bisa dicaplok ke dalam negara-bangsa dan tapi sekaligus untuk mencegah agar dalam masyarakat mereka tidak tumbuh bibit-bibit negara-bangsa. Sepanjang sejarah, penduduk dataran tinggi ini adalah “pelarian sengaja” dari pusat-pusat ekonomi-politik di dataran rendah. Hal terakhir ini tentu bukanlah gambaran ideal yang kita inginkan.
Terimakasih.
Pustaka
Anderson, Benedict (2002), Imagined Communities, Komuinitas-komunitas Terbayang, Terjemahan judul asli Imagined Communities: Reflection on The Origin and Spread of Nationalism, Insist, Jakarta.
Anderson, R.O’ G. Benedict (2006), Java In A Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, Equinox Publishing; Jakarta- Singapore.
Dhakidae, Daniel (2002), Kata Pengantar dalam Anderson, Ben (2002), Imagined Communities, Komuinitas-komunitas Terbayang, Terjemahan judul asli Imagined Communities: Reflection on The Origin and Spread of Nationalism, Insist, 2002.
Dhakidae, Daniel (2010), Elegia untuk Pusat yang Terpinggirkan, dalam Prisma no 10, Otonomi Daerah Untuk Siapa ?, LP3ES, Jakarta.
Hawkins, David R (2012), Power and Force, The Hidden Determinats of Human Behavior Hay House, Inc, New York.
Holt, Claire (ed, 2007), Culture and Politics In Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta – Kuala Lumpur.
Kolers, Avery (2009), Land, Conflict and Justice, A Political Theory of Territory, Cambridge University Press.
Majid, Nurcholis (2004), Indonesia Kita, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Robison, Richard (2008), Indonesia The Rises Of Capital, Equinox Publishing, Jakarta-Kuala Lumpur.
Savitri, Myrna (2012), Kata Pengantar, dalam Marcus Colchester, Sophie Cao, Beragam Jalur Menuju Keadilan: Pluralisme Hukum dan Hak-Hak Masyarakat Di Asia Tenggara, Epistema Institute, Jakarta.
Scott, James C (2019) The Art of Not being Governance, Yale Univesity, Press, New Haven & London.
Soemardjan, Selo (1981), Perubahan Sosial di Yogyakarta, UGM Press, Yogyakarta.
Soetarto, Endriatmo (1998), Dialog Kritis antara Golongan Elit dan Warga Desa Dalam Pembangunan Masyarakat Desa di Kabupaten Sumedang, Disertasi, Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Soetarto, Endriatmo (2006), Pancasila dan Pembaharuan Agraria, Falsafah, Refleksi, dan Aksi Menuju Masyarakat Agraris yang Berkeadilan Sosial, dalam buku Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas, Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kampus FISIP UI, Depok, Brighten Institute, Bogor.
Soetarto, Endriatmo (2022), Perkebunan Besar, Moralitas Politik, dan Keadilan Sosial, makalah disampaikan dalam Bedah Buku: Hidup Betrsama Raksasa Karya Tania Lee dan Pudjo Semedi, FDepartemen Sain Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA, IPB Univerity, Bogor.
Footnote
[1] Dari sini pula muncul istilah populer lainnya yaitu ‘anak bangsa’ yang merujuk pada sosok-sosok warga bangsa kaya, miskin, petani, buruh, kaum terpelajar, sampai dengan para pahlawan (mulai dari batu nisan yang menyebut raga di dalamnya sebagai pahlawan tidak dikenal sampai dengan nama yang ditabalkan tebal-tebal di batu nisan lainnya sebagai pahlawan nasional). Ada juga usaha yang pernah membedakan antara ‘bangsa’ sebagai ‘kolektivitas sosiologis’ dan ‘nasion’ sebagai ‘kolektivitas politik’ yang disampaikan oleh Mohtar Pabotinggi (2000). Namun sepaham dengan Dhakidae (2002) pembedaan tersebut problematik dan penuh risiko.
[2] Tentu saja ada aspek latar kesejarahan yang lebih luas manakala kita mengupas nama Indonesia itu sendiri. Lewat ketertarikan atas produk-produk eksotik seperti rempah-rempah, kapur barus, wewangian dari cendana, gaharu dan lain-lain datanglah para saudagar dari anak benua India dan Timur Tengah. Dari Kawasan anak benua India para saudagar membawa agama-agama India, Hindu dan Budha. Pengaruh kekuasaan politik yang mereka tanamkan mendorong berkembangnya budaya bercorak India, sehingga dalam khazanah antropologi disebut ‘Indonesia’ yakni ‘kepulauan India’ sebanding dengan daratan tenggara Asia yang disebut ‘Indocina’, yakni Cina-India’. (Madjid, 2004, dan lihat juga Lombard 1996).
[3] Dalam makna politisnya para pelajar dan mahasiwa di negeri Belanda yang berasal dari Kawasan Nusantara pada tahun 1917 juga telah menggunakan nama ‘Indonesia’ untuk organisasi mereka.- Indonesia Verbond van Studerenden. Ketika diasingkan ke negeri Belanda Ki Hajar Dewantara pada tahun 1918 mendirikan Indonesich Persbureau (Kantor berita Indonesia), Bung Hatta memuat pleidooinya di negeri Belanda tahun 1928 sebagai Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka). Semua ini lalu dikukuhkan dalam suatu peristiwa besar yang sangat menentukan bagi perjalanan sejarah bangsa, yaitu 28 Oktober 1928 yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Selanjutnya hal ini dikobarkan lagi oleh Bung Karno dalam pidato Indonesia Klag Aan, (Indonesia Menggugat) 1930. Indonesia adalah sebuah nama yang sebetulnya sudah lama tersimpan dalam khazanah antropologi (James Richardson Logan dari Inggris, 1850; dan Adolf Sebastian dari Jerman, 1886) (lihat Madjid, 2004).
[4] Memang ada pendapat berbeda yang justru melihat dampak perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses modernisasi dan pembangunan selama tiga dekade terakhir terhadap masyarakat Indonesia cukuplah besar. Akibatnya secara spasial masyarakat Indonesia benar-benar telah terintegrasi dalam kesatuan masyarakat nasional (national society); dan mengikuti pendapat Daniel Bell (1978) semua itu adalah sebagai dampak dari revolusi komunikasi dan transportasi yang dibawa oleh proses modernisasi dan pembangunan selama ini.
Dengan kata lain bangsa Indonesia tidak lagi sekedar ‘komunitas imajiner’ akan tetapi benar-benar telah menjadi komunitas yang aktual, yang membuat setiap warga terintegrasi baik dalam ‘desa nasional’ maupun ‘desa global’. Semuanya ini lalu menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya telah menjadi masyarakat terbuka, kritis dan berwawasan luas, sehingga menuntut adanya keterbukaan, kebebasan, dan demokrasi dalam berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi nyatanya secara umum dapatlah dikatakan bahwa selama beberapa dasa warsa terakhir khususnya di era rezim Soeharto proses politik pemerintahan cenderung otoriter, represif dan semakin monolitik serta berpusat hanya pada kepentingan sekelompok terbatas elit politik dan oligarki. Kondisi demikian kiranya telah menjadi salah satu pemicu timbulnya ketegangan, konflik, dan krisis di sendi-sendi kehidupan masyarakat. (Suryo, 2009).
Terhadap pandangan ini saya sependapat untuk sebagian, dalam arti bahwa sesungguhnya masih relatif mudah menjumpai kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia, bahkan di pulau Jawa sekalipun yang tak lain merupakan pusat pemerintahan, namun masih cukup terisolir dari terpaan modernisasi termasuk diantaranya dengan jaringan komunikasi modern (elektronik) khususnya. Selain itu juga oleh sebab kemiskinan yang melekatnya sehingga banyak warga tak cukup punya waktu luang untuk memberi perhatian terhadap masalah-masalah yang ada di luar dirinya, keluarga, kampung, atau desanya. Tapi saya sependapat telah tumbuh kesadaran kolektif (laten maupun manifes) yang terus menguat bahwa kehidupan mereka sehari-hari semakin dibayangi dan ditekan oleh kekuatan-kekuatan eksternal, dalam hal ini oleh birokrasi negara. Institusi birokrasi negara yang semestinya menjadi entitas pencipta keadilan sosial dan pencerdas anak bangsa namun justru beralih rupa dan berperangai primitif yaitu menjadi birokrasi pemburu rente dan penyedia karpet merah para pemilik modal. Lalu semua ini kemudian mengancam kelanjutan (ruang) hidup warga desa, warga masyarakat adat, warga masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, dan warga lain yang senasib.
[5] Sebagai contoh gambar mendasar rezim ekstraktif yang menyertai liberalisasi industri sawit di negeri ini tidak saja melahirkan ketimpangan penguasaan tanah, tapi juga menimbulkan semacam suatu konsolidasi kekuasaan kelas, diantaranya melalui accumulation by dispossession. Suatu bentuk akumulasi melalui pengambilan barang (semacam ‘penjarahan’). Jadi ini berbeda samasekali dengan praktik akumulasi modal melalui produksi, perdagangan dan perluasan konsumsi (Harvey, 2003, 2005). Wujud kesejarahan perkebunan besar sebagai rezim ekstraktif seperti alih kepenguasaan lahan, penggusuran atau penaklukan kaum tani, kerjasama pengusaha dan penguasa untuk melanggengkan upah buruh murah, dan sebagainya merupakan doktrin supra ekonomi rezim ekstraktif kapitalisme perkebunan sawit. Artinya operasi perusahaan-perusahan besar industri kelapa sawit tidak pernah terbangun dan hidup tanpa kekerasan (Mulyanto, 2010).