Hutan Adat sebagai Model Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam di Serampas, Jambi
Hutan Adat sebagai Model Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam di Serampas, Jambi
Proses penetapan hutan adat Rantau Kermas layak disebut sebagai perjuangan lantaran memerlukan proses yang panjang dan keterlibatan berbagai pihak mulai dari pemerintah, LSM maupun masyarakat adat untuk mendorong pengakuan hutan adat. Pada 30 Desember 2016, pemerintah secara resmi memberikan pengakuan dan penetapan hutan adat di Istana Negara, dan salah satu hutan adat yang ditetapkan adalah Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo Desa Rantau Kermas dengan luas 130 Ha. Hutan adat Rantau Kermas memiliki banyak potensi baik dalam bidang ekowisata, keanekaragaman hayati, maupun hasil hutan bukan kayu. Keberadaan hutan adat memiliki berbagai fungsi baik untuk lingkungan maupun untuk masyarakat adat. Hutan adat yang lekat dengan masyarakat adatnya dalam prakteknya dikelola berdasarkan aturan adat masyarakat adat itu sendiri. Aturan-aturan adat berupa kearifan lokal ini merupakan sarana dan pedoman dalam menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan hutan adat. Bagi masyarakat adat dengan aturan adat yang masih bertahan dan berjalan dengan konsisten, pengelolaan hutan adat setelah penetapan hutan adat dilakukan barangkali sama saja seperti sebelum-sebelumnya. Berpedoman pada aturan adat guna menjaga kelestarian hutan adat. Patroli hutan adat dilakukan sebulan sekali secara rutin untuk melindungi hutan dari ancaman dan gangguan. Patroli dilakukan oleh anggota Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA), kemudian hasil patroli akan ditindaklanjuti oleh pemerintah desa dan lembaga adat secara bersama-sama.
Ketika memasuki daerah perkampungan di Desa Rantau Kermas kita akan melihat Baliho besar terpampang di pertigaan jalan desa. Walaupun tampak sedikit using, namun tulisan yang terpampang masih dapat dibaca dengan baik. Pada baliho ini tertulis aturan-aturan mengenai hutan adat, khususnya larangan dalam hutan adat. Berikut larangan dalam hutan adat Depati Kara Jayo Tuo, Rantau Kermas:
1. Tidak menebang pohon dan memusnahkan tumbuhan secara liar yang menjadi sumber bagi makanan hewan, sumber bibit, tanaman yang terletak di dekat sumber air, tebing dan anakan sungai dan tumbuhan langka.
2. Tidak membuka dan menggarap perladangan baru dan mebangun permukiman dalam kawasan di dalam hutan adat.
3. Tidak memasuki dan memanfaatkan potensi hutan adat tanpa seizing pemerintah desa dan kelompok pengelola hutan adat.
4. Tidak melakukan penjualan, penggadaian hutan adat beserta isinya dan dijadikan jaminan
5. Tidak membuang sampah yang tidak dapat atau sukar untuk dihancurkan dan tidak menggunakan bahan cairan beracun dalam melakukan semua kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran air dan tanah.
Bagi masyarakat yang melanggar ketentuan di atas, maka akan didenda secara adat yaitu: 1 ekor kambing, beras 20 gantang dna uang sebesar 500.000.
Dengan komitmen masyarakat yang tinggi dalam menjaga hutannya, manfaat yang dirasakan tidak hanya bagi masyarakat desa tersebut tetapi juga bagi masyarakat global yang saat ini berkutat dengan persoalan perubahan iklim dan pemanasan global. Inisiatif masyarakat ini sudah sewajarnya untuk diapresiasi dan keberadaan hutan juga bisa memberi manfaat lebih. Untuk itu, maka diinisiasi adopsi pohon atau pengasuhan pohon yang berada di hutan adat Rantau Kermas. Pohon Asuh dikembangkan berupa skema penghimpunan dana yang akan diberikan sebagai reward kepada masyarakat yang telah menjaga hutannya dengan baik. Program pohon asuh ini dilaksanakan dengan pendampingan dari KKI Warsi. Lestarinya hutan adat serampas menjadi penentu ketersediaan sumberdaya air yang menyokong kehidupan sehari-hari masyarakat adat, keperluan irigasi dan sumber tenaga dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).
Penetapan dan pengelolaan hutan adat di Desa Rantau Kermas menjadi inspirasi bagi masyarakat adat lainnya terutama masyarakat adat serampas yang berada di desa lainnya dalam wilayah adat serampas. Pada tahun 2019, Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo Desa Rantau Kermas memperoleh penghargaan kalpataru di bidang penyelamat lingkungan. Penghargaan ini diterima bukan tanpa alasan, mengingat proses yang cukup panjang, mulai dari pengajuan, kesepakatan, negosiasi politik, pengakuan, hingga penetapan dan sekarang mulailah terbuka kesadaran masyarakat secara lebih luas. Jika dulu sebagian masyarakat masih bertanya, bagaimana hutan bisa menjadi sumber penghidupan, bagaimana hutan bisa menjaga alam yang sebagian berpendapat bahwa bencana adalah takdir, kini masyarakat mulai merasakan manfaatnya dan bahkan bangga dengan penghargaan nasional yang telah diterima.
Pusat Studi Agraria yang sebelumnya pada tahun 2019 juga telah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan lahan dan pemetaan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah adat Serampas, kini secara berkesinambungan berfungsi sebagai knowledge management system dan memberikan sosialisasi/penyuluhan mengenai pengelolaan hutan adat di wilayah adat Serampas kepada masyarakat adat baik dari Desa Rantau Kermas, maupun desa lainnya yang sedang berjuang mendapatkan pengakuan hutan adat.
(prp)