Download Briefing Paper “Melampaui Jargon Kebijakan Ekonomi Biru: Mewujudkan Keadilan, Keberlanjutan dan Transparansi dalam Tata Kelola Kebijakan dan Perikanan ASEAN”
Download Briefing Paper “Melampaui Jargon Kebijakan Ekonomi Biru: Mewujudkan Keadilan, Keberlanjutan dan Transparansi dalam Tata Kelola Kebijakan dan Perikanan ASEAN”
Genderang Ekonomi Biru di ASEAN telah ditabuh melalui Forum Ekonomi Biru ASEAN 2023 yang telah terselenggara di Belitung 2-4 Juli 2023 lalu. Acara tersebut diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Indonesia dengan dukungan dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) dan dihadiri oleh perwakilan negara ASEAN. Para perwakilan pemimpin negara-negara kawasan ASEAN tersebut memandang bahwa 66% dari total wilayah Asia Tenggara ditutupi oleh lautan dan samudera, sehingga tidak diragukan lagi ekonomi biru akan menjadi prioritas, yakni artinya mendorong alternatif pertumbuhan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan kedepannya. Namun apakah benar semangat ekonomi biru hadir demi mengakomodir kepentingan alternatif pertumbuhan ekonomi semata? Jika memang demikian arahnya, tentu tak ada ubahnya sebagai praktik pengerukan laut untuk pertumbuhan ekonomi, setelah kerusakan sumber daya di daratan. Apakah demikian artikulasi ekonomi biru?
Tantangan lain juga terlihat bahwa hampir seluruh negara kawasan kawasan ASEAN masih terkendala oleh tantangan tata kelola yang signifikan yang mempengaruhi kemauan pemerintah untuk memberantas korupsi dan kredibilitas upaya antikorupsi mereka. Badan-badan khusus antikorupsi telah dibentuk di seluruh wilayah, namun mereka kurang memiliki independensi, sumber daya, dan visibilitas untuk memberantas korupsi secara efektif. Suap untuk mengakses layanan publik telah menurun secara signifikan, namun korupsi birokrasi masih menjadi tantangan karena sektor publik yang sangat terpolitisasi serta tingginya tingkat nepotisme dan favoritisme[1].
Ketiadaan isu anti korupsi dalam pembahasan ASEAN terlihat nir-kepemimpinan dari Pemerintah Indonesia, terutama di dalam isu anti korupsi (hanya isu pendidikan anti korupsi); There was no statement regarding anti-corruption commitment or consensus regarding anti-corruption initiative in the ASEAN Chairman’s Statement of the 42nd ASEAN Summit Labuan Bajo, Indonesia, 10-11 May 2023. Jika komitmen anti korupsi tidak di ulas secara mendasar, tentu praktik seperti Ilegal, Unregulated, and Unreported (IUU) Fishing yang telah banyak merugikan negara juga akan akan luput dari upaya mendorong Kebijakan Ekonomi Biru di ASEAN[2]. Selain keengganan negara-negara ASEAN untuk memasukkan perspektif antikorupsi ke dalam kerangka ekonomi biru, investasi infrastruktur di ASEAN juga berpotensi tercoreng oleh korupsi dan rentan terhadap jebakan utang. Hasil konsultansi pembangunan ERIA dalam mendorong desain “konektivitas”, “koridor ekonomi”, atau “layanan desain peta jalan infrastruktur” dalam dokumen The Comprehensive Asia Development Plan (CADP), tak jarang ditangkap Tiongkok dalam desain yang hampir sama melalui One Belt One Road (OBOR). Proyek infrastruktur desain OBOR di bawah “Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRICS)” Tiongkok sering dikritik karena kurangnya transparansi dan membiarkan praktik korupsi[3].
Briefing Paper yang disusun oleh Transparency International Indonesia (TII) dan Pusat Studi Agraria IPB University ini bertujuan untuk: (1) menguraikan pemahaman mengenai ekonomi biru dan kontekstualisasi permasalahan dalam tata kelola kelautan dan perikanan di ASEAN; (2) menyusun rekomendasi kebijakan Ekonomi Biru yang berkeadilan, berkelanjutan dan transparan di ASEAN.