ADVOKASI PSA IPB & PARA AHLI TERHADAP PENGATURAN RAGAM TANAH KOLEKTIF, KOMUNAL SERTA ULAYAT
ADVOKASI PSA IPB & PARA AHLI TERHADAP PENGATURAN RAGAM TANAH KOLEKTIF, KOMUNAL SERTA ULAYAT
JAKARTA, PSA IPB – Belakangan ini semakin banyak kepedulian yang disuarakan oleh berbagai kalangan mengenai urgensi penguasaan kolektif atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dan adopsinya dalam berbagai skema pembaruan tenurial seperti redistribusi, rekognisi, registrasi, restitusi hingga devolusi. Subyek dari penguasaan kolektif semacam ini bisa kelompok masyarakat, masyarakat hukum adat, badan hukum milik masyarakat, bahkan juga desa.
Kepedulian ini tidak lepas dari kecenderungan privatisasi penguasaan tanah yang sangat pesat dan cenderung diutamakan dalam aneka kebijakan pemerintah. Padahal, privatisasi bukanlah pilihan yang niscaya dan, dalam kondisi tertentu, justru bukan pilihan terbaik. Sebagaimana dinyatakan Shohibuddin (2018), privatisasi hak milik sesungguhnya sangat rentan pada empat proses berikut ini: (1) fragmentasi penguasaan tanah karena pewarisannya dari generasi ke generasi; (2) diferensiasi agraria karena kian komersialnya seluruh tahapan produksi pertanian; (3) kehilangan tanah karena berbagai mekanisme eksklusi; dan (4) alih fungsi lahan pertanian, baik karena alih komoditi dari pangan ke non-pangan atau karena konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian.
Kepedulian atas bentuk penguasaan kolektif ini semakin urgen dan menemukan momentumnya di tengah beberapa dinamika kebijakan yang sedang berlangsung saat ini. Beberapa dinamika kebijakan yang bisa disebut antara lain:
- Desakan untuk merekognisi dan melindungi keberadaan tanah ulayat, termasuk menyangkut dimensi publiknya, yang sebelumnya pernah diatur Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999. (Namun, kemudian dihapus oleh Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 sehingga terjadi kekosongan regulasi.)
- Keluarnya Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang antara lain membuka peluang bagi penguasaan kolektif dan yang mengharuskan pengaturan lebih lanjut (dalam bentuk Peraturan Menteri) atas tanah non-pertanian.
- Pembahasan berbagai RUU yang saat ini sedang berlangsung di parlemen yang usulannya berasal dari berbagai pihak (DPR, DPD, Pemerintah, CSO), seperti RUU Pertanahan, RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, RUU Tanah Ulayat, dan juga Revisi UU Kehutanan.
- Inisiatif Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional untuk merevisi Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu.
- Kebutuhan kebijakan dalam rangka mengembangkan dan melindungi “sumber daya bersama” (the commons), misalnya untuk fungsi “kawasan lindung”, “lahan pangan pertanian abadi”, atau “lahan jaminan sosial”, termasuk (dan terutama) yang berada di dan dalam pengelolaan desa.
Dalam rangka mengonsolidasikan gagasan dan pemikiran para ahli mengenai persoalan yang amat penting ini, sekaligus mengadvokasikannya pada proses kebijakan, Pusat Studi Agraria bekerja sama dengan Samdhana Insititute dan Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial menyelenggarakan forum “Diskusi Ahli tentang Pengaturan Tanah Kolektif, Tanah Komunal dan Tanah Ulayat”. Kegiatan yang dilaksanakan pada 24 Oktober 2018 ini dihadiri hampir 20 orang dari berbagai penjuru Nusantara dengan beragam latar belakang profesi maupun disiplin ilmu. Mereka adalah para figur yang memiliki keahlian dan/atau pengalaman yang panjang dalam menekuni isu ini baik di ranah kajian, gerakan sosial, advokasi kebijakan, maupun kombinasi di antara ketiganya.
Dalam Diskusi Ahli yang berlangsung sehari penuh ini dibicarakan lima pokok bahasan berikut ini.
- Bagaimana pengaturan skema hak yang paling tepat untuk merekognisi dan melindungi tanah ulayat?
- Bagaimana pengaturan skema hak kolektif dan/atau komunal yang paling tepat untuk merekognisi dan melindungi masyarakat non-hukum adat?
- Bagaimana pengaturan skema hak yang paling tepat untuk merespons aspirasi sebagian masyarakat penerima tanah obyek land reform (TORA) yang menghendaki jenis hak yang bersifat non-individual?
- Bagaimana pengaturan skema hak kolektif dan/atau komunal yang paling efektif untuk menjamin desa/kelompok masyarakat dapat melakukan pengadaan dan menguasai tanah yang diperuntukkan untuk “sumber daya bersama” (lahan garapan bersama warga miskin, hutan lindung, dan lain-lain)?
- Bagaimana pengaturan skema hak kolektif dan/atau komunal yang paling efektif untuk menjamin badan usaha milik desa/kelompok masyarakat dapat memiliki konsesi tanah skala kecil untuk usaha ekonomi yang bersifat produktif?
Hasil-hasil pembahasan kelima pokok bahasan di atas disepakati untuk ditindaklanjuti menjadi beberapa rute policy engagements berikut. Pertama, memformulasikannya menjadi norma-norma hukum untuk dijadikan rumusan pasal-pasal alternatif mengenai tanah ulayat dan hak kepemilikan bersama yang akan diadvokasikan dalam berbagai proses legislasi dan perumusan kebijakan yang sedang berlangsung di parlemen maupun pemerintah. Kedua, menyusun berbagai policy paper sebagai landasan akademis dari norma-norma hukum yang dirumuskan di atas. Ketiga, menghimpun semua naskah dan notulensi selama forum Diskusi Ahli dan menjadikannya sebagai buku rujukan.
Selain tiga rute di atas, sebuah agenda ilmiah yang lebih panjang juga disepakati, yaitu sebuah kebutuhan untuk menghasilkan kodifikasi atas taksonomi ragam tenurial masyarakat dan kompleksitas praktiknya di tengah proses perubahan agraria dan lingkungan yang pesat dewasa ini. Kodifikasi demikian sangat diperlukan demi menyediakan rujukan terkini mengenai (meminjam judul buku Van Vollenhoven) “Orang Indonesia dan Tanahnya”. [MSB]